Jakob Sumardjo
Filsafat Indonesia
- Pada akhirnya kita harus menjadi diri kita sendiri. Sebab yang lain itu tak mungkin menerimanya sebagai bagian dari diri mereka. Engkau bukan bagian dari diri kami. Engkau berbeda dengan kami. Barangkali Engkau memang hidup seperti kami hidup, tetapi jelas bahwa engkau tidak tumbuh dari akar kami. Engkau beda. Engkau bukan kami. Lantas, ke mana kita akan menggabung? Pulang ke ibu. Pulang pada nilai-nilai Jawa, Batak, Sunda, Bugis, karena ibunda kita memang ada di sana. Setiap Malin Kundang itu akan menjadi batu.
- Sumber: Mencari Sukma Indonesia 2003.
- Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, kata Bung Karno. Tetapi siapakah dia itu? Kita lebih mengenal pikiran-pikiran Gramsci daripada Tan Malaka, pemikiran Fromm daripada Ki Hadjar Dewantoro.
- Sumber: Mencari Sukma Indonesia 2003.
- Berpikirlah dari bawah, dari kenyataan budaya kita yang konkrit ini. Jangan terlalu banyak membaca buku dan menyimak berita berbahasa Inggris. Bacalah rakyat. Kita hidup di bumi kontekstual bernama kepulauan Nusantara.
- Sumber: Mencari Sukma Indonesia 2003.
- Tetapi, kalau kita ditakdirkan untuk lahir dan tinggal di suatu lokal di planet ini, mungkinkah kita menghindar dari tata nilai yang dilahirkan oleh masyarakat lokal itu?
- Sumber: Mencari Sukma Indonesia 2003.
- Kita lupa bahwa budaya pendidikan negara-negara maju ini bertolak dari kebudayaan mereka sendiri. Apa yang mereka ajarkan adalah pencapaian-pencapaian budaya nenek moyang mereka. Pendidikan negara-negara maju ini, dilihat secara budaya, merupakan garis lurus perjalanan cara berpikir, cara berbuat dan semua produk kegiatan itu. Sementara kita mempunyai garis sejarah budaya yang berbeda.
- Sumber: Mencari Sukma Indonesia 2003.
- Masyarakat Indonesia itu memiliki sejarah cara berpikir mereka sendiri, mempunyai sistem pengetahuan mereka sendiri, mempunyai warisan-warisan nilai-nilai sendiri, mempunyai organisasi sosialnya sendiri.
- Sumber: Mencari Sukma Indonesia 2003.
- Bagi masyarakat Indonesia, filsafat bukan sekadar pengetahuan rasional, tetapi harus dibuktikan dapat dipraktikkan dalam hidup sehari-hari. Filsafat sebagai wacana kurang dilakukan, tetapi filsafat sebagai 'pegangan hidup' sejak dulu dipraktikkan. Inilah sebabnya, untuk mengetahui 'filsafat' orang Indonesia, kita perlu membacanya dalam berkas-berkas hasil tindakannya. Filsafat masyarakat Indonesia adalah praktik hidupnya sehari-hari. Filsafat Indonesia tidak berwujud diskusi-diskusi verbal yang abstrak rasional seperti biasa kita baca dalam sejarah Barat (Eropa-Amerika).
- Sumber: Mencari Sukma Indonesia 2003.
- Orang Papua menjalankan filsafat Papua, orang Jawa menjalankan filsafat Jawanya, orang Sunda, orang Minang, orang Bugis, orang Melayu, orang Dayak, masing-masing menjalankan filsafatnya. Bahwa mereka memang demikian, terlihat dari caranya membangun rumah adat mereka yang berbeda-beda, dalam menganyam ragam hias pakaian mereka, dalam melukiskan simbol-simbol mereka, dalam jargon-jargon hidup kesukuan mereka, semuanya berbeda-beda.
- Sumber: Mencari Sukma Indonesia 2003.
- Mengapa sikap politik Bung Karno berbeda dengan Bung Syahrir, Bung Hatta dan Tan Malaka? Tidak adakah pola pikir pra modern dibelakangnya? Mengapa Habibie berbeda dengan Gus Dur? Mengapa sikap Sri Sultan Hamengku Buwono IX semacam itu dalam sejarah RI? Semua itu dapat dijelaskan dari pola pikir struktural masyarakat lokal yang membesarkan mereka.
- Sumber: Mencari Sukma Indonesia 2003.
- Lantas nenek moyang kita dulu itu kerjanya apa? Mencangkul melulu? Yang jelas, bangsa apa pun, memiliki tradisi pemikiran mereka sendiri. Orang Aborigin saja punya.
- Sumber: Mencari Sukma Indonesia 2003.
- Meskipun pada usia sepuluh tahun saya dibawa ke desanya Foucault, tetap saja Klaten saya bawa-bawa. Dan orang sana juga tahu (meskipun bahasa Perancis saya cas cis cus) saya tetap orang udik pedalaman Jawa.
- Sumber: Mencari Sukma Indonesia 2003.
Wikipedia memiliki artikel ensiklopedia mengenai:
Tokoh |
---|
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z |