Sapardi Djoko Damono

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (20 Maret 1940 – 19 Juli 2020) merupakan seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD. Sapardi dikenal dengan karya puisinya yang sederhana namun penuh akan makna kehidupan, sehingga beberapa karyanya sangat populer di kalangan khalayak umum.

Sapardi Djoko Damono

Kutipan tentang cinta

sunting
  • Aku mencintaimu dengan sederhana.
  • Aku mencintaimu. Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.
  • Kemiskinan adalah hantu yang setia menjaga kebanyakan rumah di desa.
  • Apa sih, bibit itu? Apa pula bobot apa pula bebet di zaman sekarang ini?
  • Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur.
  • Tetangga kita itu memang harus dilawan, mentang-mentang janda prajurit, seluruh desa suka berlebihan menghormatinya.
  • Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan tak lagi mengenalnya.
  • Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu.
  • Duduk di boncengan sepeda Kunto malam-malam, Suti merasa seperti merapat ke tungku hangat.
  • Nanti dulu, biarkan aku sejenak berbaring di sini. Ada yang masih ingin ku pandang. Yang selama ini senantiasa luput.
  • Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan. Selamat malam.
  • Aku tidak punya hak memilihkan calon istri untukmu. Pilihan penuh ada di tanganmu.
  • Dan Adam turun di hutan-hutan, mengabur dalam dongengan dan kita tiba-tiba di sini, tengadah ke langit; kosong sepi.
  • Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.
  • Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini, Astagfirullah! Rasanya di mana-mana ajal mengintip.
  • Di tengah ladang aku tinggal sendiri bertahan menghadapi Matahari

Kutipan tentang kasih sayang

sunting
  • Kita tak akan pernah bertemu; Aku dalam dirimu Tiadakah pilihan Kecuali di situ? Kau terpencil dalam diriku.
  • Lalu senyap pula. Berapa jaman telah menderita semenjak Ia pun mengusir kita dari Sana
  • Waktu berjalan ke Barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang.
  • Lalu senyap pula. Berapa jaman telah menderita semenjak Ia pun mengusir kita dari sana
  • Dalam diriku menggenang telaga darah, sukma namanya. Cemaskan aku kalau gugur daun demi daun lagi
  • Mana ada hantu mau tinggal di kampung miskin yang kebanyakan warganya tidak doyan makan hantu?
  • Dalam diriku mengalir sungai panjang, darah namanya.
  • Katamu dulu kau takkan meninggalkanku. Omong kosong belaka! Sekarang yang masih tinggal Hanyalah bulan yang bersinar juga malam itu dan kini muncul kembali.
  • Barangkali hidup adalah doa yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras. ia merasa Tuhan sedang memandangnya dengan curiga; ia pun bergegas.
  • Jakarta itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh panas. Jakarta itu kasih sayang.
  • Nasib memang diserahkan kepada manusia untuk digarap, tetapi takdir harus ditandatangani di atas materai dan tidak boleh digugat kalau nanti terjadi apa-apa, baik atau buruk.
  • Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput
  • Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan
  • Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
  • Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara

Kutipan penuh makna

sunting
  • Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang.
  • Kita pun menyanyi selepas-lepasnya, sepasang kekasih yang tuli dan buta. cemaskan aku kalau nanti air hening kembali.
  • Kita tak akan pernah bertemu; Aku dalam dirimu Tiadakah pilihan Kecuali di situ? Kau terpencil dalam diriku.
  • Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
  • Tuhan, aku takut. Tolong tanyakan padanya siapa gerangan yang telah mengutusnya.
  • Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur.
  • Tidak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari daun dekat jendela itu.
  • Waktu berjalan ke Barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang.
  • Kalau Kau pun bernama Kesunyian, baiklah tengah hari kita bertemu kembali sehabis kubunuh anak itu.
  • Lepaskan semua dari pikiranmu garis warna-warni yang silang-menyilang di benakmu itu.

Pranala luar

sunting
 
Wikipedia memiliki artikel ensiklopedia mengenai: