Filsafat Indonesia

Filsafat Indonesia adalah filsafat yang diproduksi oleh semua orang yang menetap di wilayah yang dinamakan belakangan sebagai Indonesia, yang menggunakan bahasa-bahasa di Indonesia sebagai mediumnya, dan yang isinya kurang-lebih memiliki segi distingtif bila dibandingkan dengan filsafat sejagat lainnya.

Wikipedia memiliki artikel ensiklopedia mengenai:


Sebagai suatu tradisi pemikiran abstrak, menurut studi Mochtar Lubis, Filsafat Indonesia sudah dimulai oleh genius lokal Nusantara di era neolitikum, sekitar tahun 3500–2500 SM (Mochtar Lubis, Indonesia: Land under The Rainbow, 1990, h.7). Tapi, sebagai nama kajian akademis (di antara kajian-kajian akademis yang lain, seperti kajian 'Filsafat Timur' atau 'Filsafat Barat'), Filsafat Indonesia merupakan kajian akademis baru yang berkembang pada dasawarsa 1960-an, lewat tulisan rintisan M.Nasroen, Guru Besar Luar Biasa pada Jurusan Filsafat di Universitas Indonesia, yang berjudul Falsafah Indonesia (1967).


Kutipan

Disusun menurut kronologi

  • Sebagai hasil dari falsafah itu dalam alam kenyataan, adalah kebudayaan. Dalam alam kenyataan terdapat bermatjam-matjam kebudayaan dan tiap-tiap kebudayaan ini tentu mempunyai atau berdasarkan falsafah sendiri-sendiri pula --M.Nasroen, Falsafah Indonesia 1967.
  • Pantja Sila ini adalah pantjaran dari Pandangan Hidup Indonesia dan pasti mengandung unsur-unsur dari Pandangan Hidup Indonesia itu didalamnja --M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967.
  • Saja jakin, bahwa sebelum bangsa Indonesia memeluk agama, Tuhan telah mengilhami nenek mojang Indonesia membatja, jaitu mengemukakan ketentuan-ketentuan jang terdapat pada alam itu. Nenek mojang Indonesia dengan ketentuan-ketentuan itu mentjiptakan adat itu dan adat itulah jang mengandung falsafah Indonesia asli didalamnja--M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967.
  • Untuk mengetahui dan menjelidiki falsafah asli Indonesia haruslah mengetahui dan menjelidiki adat dan pantun Indonesia--M. Nasroen, Falsafah Indonesia 1967.
  • Kehidupan desa-desa kita diarahkan dan dipengaruhi oleh nenek-moyang sebagai filosof, melalui adat, pandangan dan sikap hidup yang diwariskannya dari angkatan ke angkatan.--Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1) 1973.
  • Bahasa Indonesia tepat sekali memakai perkataan budi sebagai dasar daripada budidaya atau kebudayaan. Hal ini tidak terdapat dalam bahasa Inggris; disana tidak ada perhubungan antara mind dengan culture atau civilization, sehingga dilihat dari suatu jurusan ilmu kebudayaan, yang dalam bahasa Inggris sering disebut ilmu sosial, pada hakekatnya kacau. Dalam bahasa Jerman ada suatu kesadaran, bahwa pengertian Geist yang sama dengan mind atau budi itu, rapat berhubungan dengan pengertian kultur; die Geisteswissenschaften boleh disamakan dengan die Kulturwissenschaften--Sutan Takdir Alisjahbana, Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari jurusan Nilai-Nilai 1977.
  • Bagi bangsa Indonesia pandangan hidu itu dapat dipelajari dari khazanah adat, istiadat, kebiasaan-kebiasaan di dalam pelbagai kebudayaan daerah--R. Parmono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia 1985.
  • Hasil real dari pemikiran filsafat itu adalah kebudayaan. Oleh karena itu usaha untuk mempelajari filsafat Indonesia dapat ditempuh melalui kebudayaan daerah --R. Parmono, Menggali Unsur-Unsur Filsafat Indonesia 1985.
  • Bangsa Jawa menambahkan tokoh-tokoh dari kebudayaannya sendiri kepada tokoh-tokoh Mahabharata dalam bentuk Semar, Gareng, Petruk, Bagong --Sutan Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.
  • Tiba di sini, tibalah kita pada soal local genius, yaitu keistimewaan bakat dan pembawaan kebudayaan-kebudayaan Asia Tenggara atau Bumantara, yaitu kuatnya tenaga kekreatifan estetik yang sejalan dengan kecakapan menerima dan mensintesis konsep dan pemikiran dari kebudayaan lain dalam suatu integrasi struktur dan penjelmaan bentuk baru yang seimbang dan agung --Sutan Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.
  • Siapa yang pernah melihat tari Ramayana Thailand, Jawa atau Bali dan pernah juga melihat tari Ramayana India, akan sadar bahwa ketiga kebudayaan yang pertama itu telah membuat seni tari dan drama yang besar dari cerita suci India Ramayana yang indahnya jauh mengatasi tari dan drama Ramayana India --Sutan Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.
  • Shiwa memberikan tarinya kepada Indonesia dan meninggalkan abunya di India --Sutan Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.
  • Agama Islam dan Nasrani yang jadi lapis terakhir di atas kepercayaan-kepercayaan lama dan nilai-nilai akar budaya kita, oleh daya sinkretisme manusia Indonesia, semuanya diterima dalam dirinya tanpa menimbulkan banyak konflik dalam jiwa dan diri kita --Mochtar Lubis, Situasi dan Akar Budaya Kita, Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) 1986.
  • Sambil kita mendoa minta rakhmat dan minta perlindungan Allah, kita juga pergi ke kuburan nenek moyang kita untuk minta tolong dan bantuan. Kita cari tuyul supaya menolong kita cepat kaya, atau minta bantuan ke Gunung Kawi untuk hal yang sama --Mochtar Lubis, Situasi dan Akar Budaya Kita, Pidato Kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) 1986.
  • Pada akhirnya kita harus menjadi diri kita sendiri. Sebab yang lain itu tak mungkin menerimanya sebagai bagian dari diri mereka. Engkau bukan bagian dari diri kami. Engkau berbeda dengan kami. Barangkali Engkau memang hidup seperti kami hidup, tetapi jelas bahwa engkau tidak tumbuh dari akar kami. Engkau beda. Engkau bukan kami. Lantas, ke mana kita akan menggabung? Pulang ke ibu. Pulang pada nilai-nilai Jawa, Batak, Sunda, Bugis, karena ibunda kita memang ada di sana. Setiap Malin Kundang itu akan menjadi batu --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, kata Bung Karno. Tetapi siapakah dia itu? Kita lebih mengenal pikiran-pikiran Gramsci daripada Tan Malaka, pemikiran Fromm daripada Ki Hadjar Dewantoro--Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Berpikirlah dari bawah, dari kenyataan budaya kita yang konkrit ini. Jangan terlalu banyak membaca buku dan menyimak berita berbahasa Inggris. Bacalah rakyat. Kita hidup di bumi kontekstual bernama kepulauan Nusantara --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Tetapi, kalau kita ditakdirkan untuk lahir dan tinggal di suatu lokal di planet ini, mungkinkah kita menghindar dari tata nilai yang dilahirkan oleh masyarakat lokal itu? --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Kita lupa bahwa budaya pendidikan negara-negara maju ini bertolak dari kebudayaan mereka sendiri. Apa yang mereka ajarkan adalah pencapaian-pencapaian budaya nenek moyang mereka. Pendidikan negara-negara maju ini, dilihat secara budaya, merupakan garis lurus perjalanan cara berpikir, cara berbuat dan semua produk kegiatan itu. Sementara kita mempunyai garis sejarah budaya yang berbeda --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Masyarakat Indonesia itu memiliki sejarah cara berpikir mereka sendiri, mempunyai sistem pengetahuan mereka sendiri, mempunyai warisan-warisan nilai-nilai sendiri, mempunyai organisasi sosialnya sendiri --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Bagi masyarakat Indonesia, filsafat bukan sekadar pengetahuan rasional, tetapi harus dibuktikan dapat dipraktikkan dalam hidup sehari-hari. Filsafat sebagai wacana kurang dilakukan, tetapi filsafat sebagai 'pegangan hidup' sejak dulu dipraktikkan. Inilah sebabnya, untuk mengetahui 'filsafat' orang Indonesia, kita perlu membacanya dalam berkas-berkas hasil tindakannya. Filsafat masyarakat Indonesia adalah praktik hidupnya sehari-hari. Filsafat Indonesia tidak berwujud diskusi-diskusi verbal yang abstrak rasional seperti biasa kita baca dalam sejarah Barat (Eropa-Amerika) --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Orang Papua menjalankan filsafat Papua, orang Jawa menjalankan filsafat Jawanya, orang Sunda, orang Minang, orang Bugis, orang Melayu, orang Dayak, masing-masing menjalankan filsafatnya. Bahwa mereka memang demikian, terlihat dari caranya membangun rumah adat mereka yang berbeda-beda, dalam menganyam ragam hias pakaian mereka, dalam melukiskan simbol-simbol mereka, dalam jargon-jargon hidup kesukuan mereka, semuanya berbeda-beda --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Mengapa sikap politik Bung Karno berbeda dengan Bung Syahrir, Bung Hatta dan Tan Malaka? Tidak adakah pola pikir pra modern dibelakangnya? Mengapa Habibie berbeda dengan Gus Dur? Mengapa sikap Sri Sultan Hamengku Buwono IX semacam itu dalam sejarah RI? Semua itu dapat dijelaskan dari pola pikir struktural masyarakat lokal yang membesarkan mereka --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Lantas nenek moyang kita dulu itu kerjanya apa? Mencangkul melulu? Yang jelas, bangsa apa pun, memiliki tradisi pemikiran mereka sendiri. Orang Aborigin saja punya --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Meskipun pada usia sepuluh tahun saya dibawa ke desanya Foucault, tetap saja Klaten saya bawa-bawa. Dan orang sana juga tahu (meskipun bahasa Perancis saya cas cis cus) saya tetap orang udik pedalaman Jawa --Jakob Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003.
  • Saya bisa menikmati musik Jazz atau komposisi Mozart atau Beethoven, tetapi apabila saya mendengarnya saya tidak pernah merasa melihat diri saya sendiri dan berada di rumah sendiri. Saya bisa berjingkrak-jingkrak mendengarkan musik rock atau reggae, tetapi tetap merasa tidak di rumah sendiri. Ini berlainan dengan apabila saya mendengar lagu keroncong, gending-gending Jawa dan Madura, degung dan kecapi Sunda, atau gamelan Bali. Di sana saya merasa di rumah dan melihat diri sendiri. Suatu jenis musik bisa dikatakan sebagai hasil kebudayaan bangsa, apabila ia lahir dan tumbuh, serta dicipta oleh seniman yang hidup di negeri tempat bangsa itu besar dan tumbuh. Unsur-unsurnya mungkin dipengaruhi oleh kebudayaan lain di luarnya, tetapi ia bukan hasil tiruan dan jiplakan, bukan karena di-xerox. Tumbuhnya pula bukan disebabkan oleh adanya industri hiburan, melainkan disebabkan oleh kreativitas dan keperluan masyarakat pendukungnya itu sendiri --Abdul Hadi WM, Islam, Tradisi Estetika dan Sastranya di Indonesia 2006